Sosok muslimah
saya pikir tidak perlu dijelaskan disini. Siapa sih muslimah itu??? Sekedar
untuk menyamakan persepsi - dalam bayangan sederhana saya - muslimah adalah
sosok wanita yang berusaha untuk tetap teguh memegang prinsip nilai-nilai
keIslaman. Dan yang penting mandiri, kritis dan kompeten.
Tapi ternyata,
tidak banyak saya menjumpai sosok muslimah yang sesuai dengan harapan sederhana
saya dalam kacamata Islam dan tuntutan jaman. Menjadi sosok sederhana saja
belum mampu apalagi menjadi sosok ibunda Khadijah, Aisyah binti Abu Bakar,
Zaenab Al-Ghozali, atau tokoh-tokoh wanita cerdas dan pemberani lainnya
(Subhanallah. Memang mereka wanita pilihan Allah).
Kasuistik bila
ternyata saat ini masih kita jumpai “akhwat-akhwat” yang IpK-nya jeblok, dakwah
keteteran, amanah di rumah amburadul, dan waktunya pun habis di jalan buat
shoping alias jalan-jalan. Walaaaah, gaswat neh….. (jangan-jangan perlu di rukhiyah
!!!).
Sebuah
idealisme ketika kita mengharapkan seorang muslimah mampu perkasa (baca : tawazun)
dalam mengelola waktunya. Sampai-sampai ada slogan “ Ibadah Taat,
Dakwah Hebat, Aksi Kuat, Ip 4, Nikah Cepat…(wah… kalo yang terakhir saya tidak
tanggung jawab… ;D)”. Yah… minimal untuk
urusan dakwah dan akademis tidak harus direcall terus lah. Boleh suatu ketika
“turun” iman. Tapi yang harus diperhatikan harus ada standar minimal. Dan jangan lama-lama !!! Bukankah dulu
sahabat Rosullullah juga pernah “turun” keimanannya ??? Semoga hal ini tidak
dijadikan apologi tentunya. OK, Tetap Semangat !!!
Satu hal
menarik yang sempat terlintas dalam benak saya. Yaitu menyikapi “Jatuh
Bangunnya Seorang Ukhti”. Saya, Anda, mungkin juga saudara seiman sekitar kita,
pun nun jauh di sana… saya yakin mereka semua pernah mengalami dehidrasi iman.
Futur, bosan, komplikasi penyakit hati, atau bahkan sampai pada insilakh. Bukan bahasan saya menjelaskan
hal tersebut disini. Cukup Anda baca buku Mensucikan
Hati. Beres.
Hal yang sebenarnya
ingin saya garis bawahi adalah bahwa untuk bisa muncul menjadi seorang muslimah
masa kini ditengah badai pergolakan jaman, bukan tidak mungkin mengalami
dehidrasi iman ditengah perjalanannya. Muslimah bukanlah wonder women yang
super dalam segalanya. Namun muslimah juga dituntut untuk selalu dapat belajar
melakukan segalanya.
Buku Agar Bidadari Cemburu Padamu menyebutkan
bahwa, wanita diberi kelebihan oleh Gusti Allah dalam hal perasaan. Nah, inilah
faktor yang paling tidak disukai seorang feminisme terhadap umumnya para wanita
- jika kelebihan tadi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bagi kawan-kawan
feminisme, perasaan akan membuat sikap lemah seorang wanita (baca : muslimah)
begitu dominan, hingga sepertinya wanita tidak mampu hidup tanpa bantuan pria.
Apapun minta. Ini minta, itu minta. Sebuah prototipe cengeng dan tidak mandiri.
Nah, itu pula yang sekarang harus kita dobrak dan hancurkan.
Saya ingat ketika di suatu sore menjelang gerimis satu-satu
(belum hujan deras lho...), saya dan seorang kawan pulang dari ”ngantor”. Lalu
seketika itu juga kawan saya mengeluarkan jimat saktinya alias payung. Saya
terheran-heran plus tidak dapat menahan tawa. ”Astaghfirullah ukhti...., wong
cuma gerimis netes-netes kok pake payung lo...”, komentar saya waktu itu tanpa
bisa dibendung. ”Lho, kan sedia payung sebelum hujan”, kilahnya sambil mesam
mesem. Dan obrolan itu pun berakhir dengan geleng-geleng kepala. Kepala saya
tentunya.
Pun ketika
salah seorang kawan saya enggan naik angkot karena terbiasa mengendarai sepeda
motor. Namun di hari pertama pasca
sepeda motornya dicuri, nah lo.... (bukan maksud saya bergembira diatas
penderitaan saudara sendiri, tapi semoga bisa diambil ibrohnya). Dan banyak
kasus lain.
Sesungguhnya bukan
tingkah laku yang ”ngakhwati” itu yang saya kritik. Tapi dampak psikologis yang
mungkin ditimbulkan dari kebiasaan tersebut. Semoga hanya menjadi kekawatiran
saya saja saat saya berpikir ”satu tetes air hujan saja tidak diharapkan
menyentuh kulit dan badan, apalagi debu-debu jalanan dan batu-batu kerikil
hingga membuat kaki menjadi lecet dan berdarah-darah”.
Secara khusus
memang Al-Qur’an dan Al Hadist tidak melarang akhwat menggunakan payung saat
gerimis menjelang, memakai sun block
hingga ketebalan 1 cm, meminta bantuan ikhwan untuk mengangkat CPU rusak dan
mengatasi genteng bocor, mendelegasikan tugas yang seharusnya mampu dikerjakan dan
perkara lainnya. Tapi menurut saya, hal tersebut terlalu cengeng. Hanya akan melahirkan
akhwat-akhwat manja.
Kadang
terlintas dalam pikiran saya, (husnudzon neh critanya...), ”apa karena kondisi
kesehatan yang berbeda ya? Kalau saya hujan-hujan paling-paling cuma kena flu.
Kalau mereka (baca: saudara-saudara saya) bisa jadi langsung demam,
pusing-pusing, mual yang kemudian berujung pada sakit typus, radang paru-paru,
komplikasi ginjal, dan penyakit kronis lainnya.
Setiap pagi
hampir semua media massa mengabarkan tentang banyak peristiwa dakwah yang perlu
segera diselesaikan. Masalah sosial, ekonomi, aqidah, akhlak, politik, budaya,
dan hukum. Semua begitu rumit dan komplek. Akankah lantas kita masih terjebak
oleh perilaku manja tadi??? Naif sekali.
Ukhti fillah
rahimakumullah. Saat ini, detik ini, masyarakat masih membutuhkan kita. Maka
hanya akhwat-akhwat yang tahan banting dan kokoh saja yang mampu
bertahan. Istilah lembut dan perkasa hanya analog bahwa begitulah akhwat yang
seharusnya. Ia lembut. Namun juga tidak pernah bergantung pada orang lain
kecuali diluar kemampuannya. Ia begitu mandiri, kokoh -tsabat-, kuat, dan solutif
(orang Jawa bilang : mrantasi alias mampu menyelesaikan permasalahan). Maka
menjadilah akhwat itu. Akhwat Lemper. Lembut nan Perkasa.
(dari berbagai sumber)