Khayalku memang tak mau berhenti di satu tempat saja,
saat aku memotongi laminasi bakal PIN dan ganci, saat aku menyapu halaman di
Loetju Semarangan. Atau saat mendengarkan Boss berbagi pengalamannya setiap
saat. Satu yang hingga kini terus menggelayut dibenakku. Tentang hidup ini,
tentang kebermanfaatan.
Dalam kamus
hidupku, kebermanfaatan memiliki proporsi yang tinggi dalam barisan target
hidupku, bahkan itu menjadi syarat utama dalam setiap gerak-gerikku. Kendati
demikian, aku belum punya standar ideal sebuah niat dan tindakan itu berujung
pada sebuah kebermanfaatan bersama (red: umat). Barangkali pembaca punya
referensi buku ataupun kisah untuk bisa ku pelajari, untuk menjawab hal itu.
Setiap aktivitas
yang sedang aku jalani ini harus berujung pada kebermanfaatan untuk orang lain,
tanpa mengesampingkan diriku tentunya. Hanya saja, siapa yang akan merasakan
kebermanfaatan ini. Mulai memutar otak. Sudah belum ya, atau jangan-jangan aku
hanya terjebak pada rutinitas yang berlandaskan kepentingan pribadi, tanpa
disadari.
Secara teori memang
gamblang, bahwa sungai-sungai itu pada akhirnya akan bermuara kelautan yang
luas. Begitu pula dengan hal-hal kecil yang kita lakukan, tentunya yang
berlandaskan asas kebermanfaatan. Aku yakin, akan bermuara pada kebermanfaatan
bersama.
Tapi mimpiku lebih
dari lautan yang luas,
melainkan lautan itu akan bermuara pada samudra. Cakupan yang ingin aku gapai, begitu luas. Entahlah, bagaimana memulainya. Tentunya, dari sungai-sungai yang kecil itu. Namun, aku harus mencari kendaraan yang tepat untuk sampai ke samudra.
melainkan lautan itu akan bermuara pada samudra. Cakupan yang ingin aku gapai, begitu luas. Entahlah, bagaimana memulainya. Tentunya, dari sungai-sungai yang kecil itu. Namun, aku harus mencari kendaraan yang tepat untuk sampai ke samudra.
Tanganku memang
cuma dua, kakikupun hanya sepasang. Bagaimana aku bisa merengkuh samudra. Isi
otakku mungkin tidak sebanyak para penguasa senayan. Kadang aku bertanya, apa
yang aku punya. Mulutku juga tak sepandai para aktivis yang masih eksis di
kampus dalam berdiplomasi.
Lalu aku sadari
kembali, kita semua sama-sama punya waktu yang sama, kesempatan yang sama, dan
mungkin jumlah anggota tubuh kita pun sama. Yang membedakan adalah sejauh mana
ikhtiar kita sekarang.
Banyak orang yang
berprestasi, bolak-balik ke luar negeri, ganti gadget berkali-kali, tapi yang
punya hati? Hanya Tuhan yang tahu.
Berprestasi itu
hanya sarana, untuk dapat memberikan kebermanfaatan bersama. Bukan tahta, tepuk
tangan, atau tumpukan piagam tak berguna. Ingat, cuma sarana. Bukan berarti
mutlak, yang tidak punya prestasi terus tidak bisa bermanfaat, tidak. Kalau
iya, orang-orang seperti aku pasti hanya bisa bengong.
Entahlah..
Memang, pandangan
Allah itunyang utama. Yang penting azzam yang kuat dan ikhtiar yang tepat,
disempurnakan dengan doa yang kenceng. Semoga bisa menjadi orang yang
bermanfaat, sesuai kapasitas.
Menjadi bermanfaat
itu membahagiakan. Bahagia itu sederhana, :D
0 komentar:
Posting Komentar