Rabu, 11 Mei 2011

Secuil Kisah Si Pemimpi(n)

Kala Ridho Illahi Tergantung Ridho Orang Tua, Aku Disini

Sekarang ketika saya berkaca, tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjadi seperti sekarang ini. Berada dilingkungan orang-orang sholeh dan saling mengingatkan. Sebuah anugerah yang tak dapat terukur kala Allah SWT memberikan semua kenikmatan ini. Walaupun belum mencapai suatu puncak, tetapi inilah langkah-langkah kecil yang nantinya akan menjadi ribuan langkah yang lebih bermakna. Menjadi seorang wanita pelopor dalam bidang sosial entrepreneur adalah impian saya.
Dilahirkan dari seorang wanita yang luar biasa dan pria perkasa. Seorang wanita yang hidup di desa dengan segala keterbatasan, dengan kerja keras menjadi buruh tani yang tidak mengenyam pendidikan SR hingga lulus. Hingga kemudian dipertemukan dengan seorang pria yang memiliki latar belakang yang suram, mantan pemabuk dan perokok berat, mereka dipertemukan dalam sebuah ikatan yang membawa keberkahan. Bapak, berubah sikapnya semenjak menikah dengan Ibu, meninggalkan segala aktivitas jahiliyahnya, termasuk meninggalkan ilmu hitam yang diturunkan dari kakek.
Dengan perjuangan yang luar biasa, bapak dan ibu memulai hidup dikota rantau, ibukota. Kejamnya Ibukota membuat bapak harus kerja lebih keras, hingga mendapatkan kepercayaan dari seorang pengusaha percetakan menjadi tukang potong kertas. Pekerjaan yang tidak ringan, akan tetapi membawa pada sebuah kemapanan, kecukupan, walaupun itu relatif. Setelah sekian lama bapak dan ibu menjalin rumah tangga baru beberapa tahun dikaruniai seorang putri, akan tetapi janin yang dikandung ibu, meninggal dunia akibat kecelakaan saat ibu sedang menanam padi di sawah. Sungguh tragis. Hingga selang lima tahun kemudian mereka dikaruniai seorang putri. Bapak dan ibu memberi nama putrinya seperti nama ustadzah yang mengisi sebuah pengajian di radio, sampai sekarang gadis tersebut akrab dipanggil Yendy, Siti Aminah Yendy. Dengan harapan putri pertama anak kedua ini dapat menjadi orang yang benar-benar menjaga dan menjalankan amanah dimanapun ia berada, menjadi orang yang dapat bermanfaat bagi sesama.
Berawal menjadi seorang tukang potong di sebuah percetakan, bapak mengawali karirnya, menjadi karyawan teladan dan tangan kanan Bos. Dari situlah titik ekonomi keluarga kami beranjak dan tumbuh. Bapak dan Ibu membangun sebuah rumah yang sederhana dikampung halaman. Dan kemudian kami pindah ke kampung halaman. Berlanjut hingga saya duduk di bangku Sekolah Dasar kemudian dikaruniai seorang adik laki-laki bernama Abdullah Ibnu Pramono. Semasa bapak masih bekerja di percetakan, segala kebutuhan sehari-hari masih dapat terpenuhi. Hingga pada tahun 1998 terjadi krisis moneter yang membuat bapak di PHK dari percertakan tersebut. Kondisi berubah drastis, ekonomi kami semakin melamah. Ditambah dengan bapak yang belum mendapatkan pekerjaan kembali, hanya menjadi buruh bangunan panggilan yang notabene bapak kurang begitu menguasai bidang-bidang seperti itu. Kalau tidak ada proyek, maka tidak ada uang hari itu. Akan tetapi Ibu bekerja menjadi seorang penjaga toko kelontong yang hanya buka dua kali dalam seminggu dengan gaji yang sangat sedikit.
Hari berganti, kondisi ekonomi keluarga tak kunjung membaik, malah sebaliknya. Hingga sempat terjadi konflik internal keluarga antara bapak dan ibu. Kemudian bapak memutuskan untuk kembali mengadu nasib di Jakarta, dengan menjual mainan anak-anak, yang dijual keliling dengan dipikul mengitari kota Jakarta. Demikian bapak menjalani profesinya itu hingga sekarang. Tubuhnya yang semakin renta, masih saja berjuang mencari nafkah demi keluarga tercinta. Tanpa lelah, yang ada hanyalah Lillah, demi istri dan anak-anaknya. Bapak adalah seorang ayah yang tidak pernah marah, murah senyum dalam keadaan sulit sekalipun, seorang ayah dan suami yang sangat penyayang, dan bijaksana. Menjadi motivator dalam hidup saya. Keyakinannya pada Allah SWT yang membuat beliau bertahan, “ Yakinlah pada Allah, serahkanlah semua padaNya” itulah kata-kata Bapak yang senantiasa menjadi motivasi dalam setiap langkah saya. Suaranya yang begitu menentramkan dan kata-kata yang senantiasa menguatkan dikala sempat maupun lapang.
Pepatah mengatakan, dibalik pemimpin yang hebat terdapat dukungan dari seorang istri. Begitu pula denga Ibu saya, yang senantiasa mendukung dan menjadi penyemangat bapak, dikala duka maupun suka. Beliau adalah seorang wanita yang keras namun lembut hatinya. Beliau sejak kecil dididik menjadi seorang pekerja keras yang menerapkan nilai-nilai disiplin dalam hidup. Saat beliau masih muda, menjadi buruh tani, memanen padi yang dalam istilah jawa “derep”. Beliau saat ini menjadi buruh penjaga toko kelontong yang buka dua kali seminggu dengan gaji yang sedikit dan buruh kasar panggilan di seorang tengkulak jamu. Lilitan hutang yang mengharuskan bapak dan ibu bekerja keras demi membayar hutang-hutang dan bunga bank yang bagai mencekik leher.
Dengan berbagai kondisi itu tidak menyurutkan langkah bapak dan ibu untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi-tingginya, mendidik anak-anaknya dalam lingkungan yang Islami. Hingga sekarang tidak pernah terbayang sebelumnya, anak seorang pedagang mainan dapat kuliah di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. bagi saya itu adalah anugerah yang luar biasa, sebagai balasan dari Allah atas perjuangan Bapak dan ibu.
Kehidupan masa kecil saya yang begitu menorehkan banyak cerita. Seorang gadis kecil yang atraktif dan nakal. Saat duduk di Taman Kanak-kanak saya terkenal sebagai seorang murid yang sangat nakal dan jail, sering membuat teman dekat saya menangis karena kejailan saya, sering meminta uang atau biasa disebut malak teman-teman bahkan guru TK saya. Akan tetapi kenakalan itu diimbangi dengan prestasi-prestasi yang mengikuti kenakalan saya. Sewaktu SD saya dikenal sebagai anak yang pemberani dan sering mendapat peringkat 3 besar di kelas. Selain itu juga sering mengikuti kompetisi lomba cerdas cermat, lomba hafalan, lomba tilawah dsb. Walaupun dikenal nakal tetapi saya adalah anak yang rajin mengaji.
Kenakalan saya membuat Ibu mendidik saya dengan cara yang keras, hingga sempat membenci ibu karena sikapnya yang sangat tegas terhadap saya. Seorang gadis kecil yang klayapan hingga melebihi maghrib, bagaimana tidak membuat seorang ibu geram. Pernah juga saya digosipkan hilang, karena saya main tanpa pamit. Saat itu bertepatan dengan seratus harinya almarhum nenek buyut saya, dugaan-dugaan muncul ketika saya tidak ditemukan keberadaannya. Banyak yang mengira saya dibawa nenek buyut saya yang telah meninggal dunia, ada yang mengira saya dibawa kekuburan nenek buyut saya. Begitulah pemikiran orang-orang yang masih kental dengan budaya jawa yang teramat ekstrim. Hingga berita hilangnya saya menyebar kepada warga desa, bapak, ibu, dan paman-paman saya mencari saya mengelilingi desa, mencari keberadaan saya. Pengumunan melalui speaker di masjid pun dilakukan, begitu menghebohkan ketika saya ditemukan dalam keadaan yang sehat wal afiat dengan senyuman tak bersalah di rumah tetangga saya yang tidak begitu jauh dari rumah saya. Seketika itu, ibu saya menangis sejadi-jadinya. Rumah saya dikerumuni banyak orang yang ingin mengetahui keadaan saya, yang sehat wal afiat. Semenjak itu, kenakalan saya mulai mereda, karena saya tidak ingin melihat Ibu saya menangis lagi.
Semasa saya duduk di bangku SMP N 1 Slogohimo, saya mulai mengubah sikap menjadi anak yang cukup pendiam. Menjadi seorang anak yang rajin, hingga saya selalu mendapat peringkat pertama sepanjang kelas satu hingga kelas tiga. Kala itu, saya adalah salah satu dari sekian siswa yang menyukai kegiatan ekstrakulikuler di sekolah saya. Mulai dari pramuka hingga OSIS, hingga kemudian saya dipilih menjadi ketua II OSIS SMP N 1 Slogohimo.
Beranjak menuju SMA, saya adalah orang yang nekat, apa yang saya inginkan apabila itu benar, maka saya harus mendapatkannya. Suatu ketika saya dimarahi oleh ibu saya hanya karena masalah sepele, saat itu saya ingin melanjutkan sekolah di kabupaten kota, tepatnya di SMA N 2 Wonogiri. Dengan alasan agar saya tidak sering bertemu ibu saya, yang sering memarahi saya. Kala itu saya menyalahartikan kemarahan ibu kepada saya. Hingga saya memutuskan untuk sekolah jauh dari rumah. Kenekatan saya itu sangat tidak didukung oleh ibu saya, beliau adalah orang pertama yang melarang saya untuk sekolah jauh dari rumah. Bapak pun meragukan keinginan saya, hingga saya meyakinkan kedua orang tua saya bahwa apabila saya di sekolahkan jauh dari rumah, saya tidak dikuliahkan juga tidak apa-apa. Saat itu emosi saya sedang labil, kenakalan kumat, dan tidak berfikir panjang. Betapa bodohnya saya kala itu tidak memikirkan bagaimana sulitnya bapak dan ibu mencari biaya untuk saya sekolah lagi, belu lagi harus membayar sewa kos yang tidak murah.
Akhirnya, bapak mengijinkan saya untuk melanjutkan ke jenjang SMA di kota dengan berbagai syarat dan konsekuensi yang harus saya lakukan. Dengan ijin Ibu saya, saya pun berangkat dan sekolah dikota walau dengan berat hati ibu meng-iya-kan. Saat itu biaya sekolah sangat mahal, karena sekolah saya merupakan sekolah rintisan bertaraf internasional, yang mengharuskan Bapak dan ibu bekerja lebih keras lagi untuk dapat membiayai sekolah saya. Konsekuensi yang harus saya terima adalah saya mendapat uang saku 25 ribu setiap minggunya, dengan bekal beras dari rumah dan harus cukup. Betapa saat itu saya merasa menjadi anak yang paling durhaka, karena memaksakan kehendak. Hingga saya memohon ampun kepada bapak dan ibu saya. Puji syukur Alhamdulillah, ibu merelakan saya dan berkata, “walaupun ibu harus buruh, yang penting kamu nisa sekolah, meraih impianmu. Jangan engkau bodoh seperti bapak dan ibumu.” Kata-kata itu yang kemudian membuat cambuk bagi saya. Betapa bodohnya saya, kala itu menganggap bahwa ibu memarahi saya karena ibu tidak suka. Tapi, saya salah besar, selama ini ibu memarahi saya supaya anaknya berada dalam jalan yang benar. Ternyata diam-diam ibu sangat mengkhawatirkan saya dibalik kerasnya beliau, tersimpan kelembutan dan kasih sayang yang luar biasa. Benar kata pepatah, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Tak pernah terputus.
Semangat itulah yang membawa saya terus berjuang dalam hempitan ekonomi. Menjadi gadis yang dibilang sangat sederhana, bahkan culun. Akan tetapi tidak menyurutkan langkah saya, ketika itu saya sangat bersyukur masih dapat sekolah walau dalam kondisi seperti itu. Bekerja, ngelesin anak-anak kecil coba saya lakukan tanpa sepengetahuan bapak dan ibu. Aktif dibeberapa kegiatan di sekolah, walaupun tidak seaktif semasa SMP, karena kondisi tubuh yang mulai sakit-sakitan. Akan tetapi tidak menyurutkan saya untuk megikuti kegiatan kepramukaan, dan tercemplung di dunia kerohanian Islam (Rohis). Hingga saya diberi amanah menjadi ketua II GEMAIS SMA N 2 Wonogiri dan Bidang Teknik Kepramukaan di Ambalan Pangeran Diponegoro dan Raden Ajeng Kartini. Padatnya kegiatan dan pola makan anak kos yang membuat kondisi tubuh saya semakin lemah, sakit-sakitan. Opname di rumah sakit dulu adalah hal biasa, bahkan satu bulan sekali pasti berobat. Seringnya mengonsumsi obat-obatan tidak membuat saya semakin sehat, malah semakin ketergantungan terhadap obat-obatan. Karena kondisi kesehatan yang seperti itu, membuat prestasi saya menurun, walau masih masuk 10 besar, tetapi itu merupakan kemerosotan yang luar biasa bagi saya.
Kesukaan saya kepada acting, drama, dan broadcasting membuat saya masuk dalam dunia teater. Berawal dari mengikuti kompetisi teater hingga saya dapat membuat naskah teater dan menang. Itu merupakan hal yang ingin saya kembangkan, akan tetapi minat dan bakat saya terkikis oleh aktivitas-aktivitas lain yang mengharuskan seorang perempuan tidak diperkenankan mengumbar suara dan lain sebagainya. Aktif di kerohanian Islam yang merubah paradigma saya tentang arti hidup dan kehidupan. Bahwa hidup ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hingga suatu ketika disebuah perkumpulan yang sering kami sebut dengan halaqah itu, saya mendapatkan sebuah pencerahan.
Sebuah informasi beasiswa yang mungkin tidak akan saya dapatkan di perkumpulan-perkumpulan ditempat lain. Kala itu, keinginan besar saya adalah dapat mengubah kondisi ekonomi keluarga saya, selain itu dapat mengubah diri saya menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, walaupun saat itu belum tergambar, mau jadi apa saya. Dari seorang murobi, saya mendapatkan sebuah semangat, dari yang dulunya saya tidak punya impian, kemudian saya ditunjukkan kejalan ini. Beastudi Etos, sebuah beasiswa yang tidak hanya memberikan beasiswa, namun mendidik SDM yang berkualitas.
Allah menjawab doa-doa yang terselip waktu-waktu sempit itu, saya membawa kabar bahagia itu kepada bapak dan ibu saya. Bahagia memang, tetapi respon yang saya dapatkan dari ibu ketika saya mendapat formulir itu, beda. Beliau yang dulu mengijinkan saya hanya untuk sekolah sampai tingkat SMA, kaget ketika saya kembali nekat berkeinginan melanjutkan kuliah di ibukota provinsi. Berbagai alasan yang saya kemukakan kepada bapak dan ibu saya agar mengijinkan saya melanjutkan kuliah di Semarang. Berbagai alasan pula ibu saya menolak keinginan saya, hingga saya dicarikan pekerjaan, tawaran bekerja dibeberapa tempat pun hadir. Mulai dari menjadi penjaga toko, tenaga pengajar SD, admin koperasi, hingga guru PAUD. Tapi dengan halus, saya sampaikan kepada Ibu, untuk memberi kesempatan kepada saya agar saya mencoba mendaftar terlebih dahulu. Alasan kembali muncul, ibu sangat khawatir dengan kondisi kesehatan saya yang tak kunjung membaik, kala saya memderita maag akut dan gangguan ginjal.
Dengan tampilan fisik yang meyakinkan ibu, saya sudah sehat. Saya menunjukkan kepada ayah dan ibu bahwa saya sehat bukan karean obat, tetapi karena semangat yang ada dalam jiwa saya. Saya ingin kuliah. Dengan berat hati ibu dan bapak menijinkan saya untuk melanjutkan kuliah melalui beasiswa Etos. Perjuangan tidak hanya sampai disini, mencari persyaratan yang tidak mudah membuat semangat saya semakin terbakar. Saya mendaftar Beastudi Etos bersama ketiga teman saya. Akan tetapi hanya saya yang lolos SNMPTN waktu itu. Banyak tantangan yang datang di saat pilihan saya jatuh pada Fakultas Peternakan. Kakak sepupu saya yang sudah seperti kakak saya, yang awalnya sangat mendukung cita-cita saya untuk melanjutkan keperguruan tinggi, berbalik mengompori ibu agar saya tidak melanjutkan kuliah. Dengan alasan jurusan yang saya ambil tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Karena jiwa nekat saya, saya tetap menjelaskan kepada Ibu yang memang dari awal tidak setuju dengan niat saya. Hingga saya berfikir, dan teringat bahwa ridho Allah tergantung dengan ridho orang tua. Kemudian saya memutuskan untuk menyerahkan semuanya kepada Allah, saya meyakini bahwa apa yang akan ditunjukkan Allah kepada saya nanti adalah jalan yang terbaik. Semua keputusan saya serahkan kepada ibu saya, ketika itu satu minggu menjelang akhir pembayaran biaya registrasi. Dengan ridho Allah SWT, ibu mengijinkan saya mengambil pilihan saya dengan rela hati. Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah.
Tantangan tidak lepas sampai disitu saja, ketika tiga hari menjelang registrasi harus membayar uang registrasi sebesar Rp 3.840.000,00, saat itu kami tidak punya uang sebanyak itu. Saat itu bapak sedang berada di Jakarta, sehingga tidak bisa mencarikan pinjaman. Akhirnya dengan gigihnya Ibu mencari pinjaman kesana kemari, bahkan sempat mendapat cemoohan, orang miskin kok mau kuliah. Hingga kami mendapat pinjaman dari seorang dermawan, tetapi masih belum menutupi, kemudian dengan berat hati kami meminjam uang kepada takmir masjid. Berat rasanya, ketika meminjam uang umat.
Alhamdulillah, Allah SWT menunjukkan jalan yang seperti ini, betapa Allah sangat menyayangiku. Membersamaiku di lingkungan orang-orang sholeh. Diajarkan bagaimana bermimpi dan berkontribusi. Semoga cerita singkat ini menjadi awal perjuangan di masa mendatang yang lebih menantang, menuju ridho Illahi Rabbi. Wallahu alam bishowab...

Karena hidup adalah perjuangan, menuju ridho ALLAH SWT semata...

0 komentar: