Senin, 21 November 2011
Mencari Ksatria Indonesia
....Beberapa abad yang lalu, sebuah kerajaan besar yang merajai Pulau Jawa, Majapahit. Terkenal dengan raja Hayam Wuruk yang membawa Mahapahit pada puncak kejayaan, dengan Patih Gajah Mada yang sangat disegani. Lalu, sekarang kemanakah kerajaan besar itu? Kini tinggal sejarah yang terukir, sejarah yang tak pasti kebenarannya. Majapahit kini tinggal nama...
Menilik dari ilustrasi cerita diatas, dengan jelas dapat kita saksikan dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang besar yang kaya akan beraneka ragam sumber daya alamnya dan memiliki jumlah penduduk yang begitu besar di dunia, Indonesia belum bisa kita katakan telah berhasil menjadi negara yang mampu memberi perlindungan kepada segenap warganegaranya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana yang diamatkan dan tercantum dalam bagian alinia terakhir pembukaan UUD NRI 1945 sebagai suatu konstitusi tertinggi di negara ini. Hal ini tercermin lebih nyata jika kita melihat kembali lebih dalam kondisi kekinian negeri ini yang hampir disemua sektor kehidupan terdapat problematika berat yang dihadapi yang membuat cita-cita ideal pembangunan bangsa ini semakin jauh dari harapan rakyatnya sendiri, Setiap ruang vital yang seharusnya digunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyatnya hari ini tengah menjadi perebutan pihak-pihak yang berkepentingan yang penuh dengan nuansa politis,pragmatis,dan jauh dari yang namanya “berkeadilan”.
Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya sistem yang malah mendukung pelaksanaan praktek-praktek kecurangan baik berupa tindak korupsi kolusi nepotisme pungli mafia dan lain semakin menguasai negeri yang pernah besar ini, hal ini mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan kalangan penguasa semakin hari semakin terdegradasi dengan kondisi bangsa dapat dikatakan jauh dari prestasi positif dan kaya akan problematika negatif yang jelas-jelas tidak akan pernah menguntungkan dan berpihak kepada rakyat. Melihat kondisi seperti ini, bisa jadi Indonesia bernasib sama dengan Kerajaan Majapahit yang kini tinggal nama. Bisa jadi Indonesia kelak hanya menjadi sejarah, bahwa beberapa abad lalu terdapat sebuah negara yang bernama Indonesia.
Paparan diatas merupakan pemantik, harus disadari bahwa Indonesia membutuhkan para pahlawan dan ksatria yang akan terus memperjuangkan Indonesia menuju puncak kejayaannya. Selain itu, hal-hal tersebut yang kemudian membuat kita semakin tersadar bahwasanya terdapat suatu permasalahan yang begitu komplek dan nyata yang begitu rentan kepentingan yang sedang dihadapi di negeri ini, jika kita berbicara lebih kritis terkait kondisi ini bahkan disetiap sub kehidupan hari ini masih banyak menyisakan suatu permasalahan yang harus segera dihadapi dan diselesaikan untuk membangun kondisi bangsa yang lebih baik kedepannya, ironis terasa saat hal ini sudah menjadi konsumsi sehari-hari kita sebagaimana yang selalu ditayangkan dan diberitakan rutin di media-media massa dan televisi bahwa kita hari ini ada ditengah permasalahan yang begitu komplek disetiap sektor baik itu: ekonomi, sosial, budaya, pangan, penegakan hukum, politik, pertahanan dan keamanan secara bergantian tetapi belum mampu memberikan suatu alternatif solusi yang sedikit banyak dapat memberi kontribusi terhadap bangsa kedepan.
Seorang pemimpin bukanlah ia yang memiliki jiwa-jiwa pengatur, pesuruh dan juga penikmat kekuasaan semata. Kini Indonesia sedang mengalami krisis kepemimpinan dan keteladanan yang saat ini sangat dibutuhkan bagi Indonesia, mengingat berbagai kondisi yang tercipta saat ini. Mengacu pada ilmu manajemen kepemimpinan modern, setidaknya ada lima karakter yang idealnya dimiliki seorang pemimpin. Bila dirangkum, gabungan katanya dapat membentuk satu kosa kata baru (Inggris), “VOICE”. Kata tersebut merupakan kependekan dari “Vision, Optimizing your self, Integrity and character, Communication, dan Empowering”. Idealnya, potensi dari karakter-karakter ini akan muncul jika diasah dan dikembangkan. Salah satu media yang efektif menajamkan potensi tersebut adalah dengan terjun langsung dan pelibatan diri dalam organisasi. Karena memang menurut Henry Mintzberg, kepemimpinan itu seperti berenang, tidak cukup hanya dipelajari lewat teks buku.
1.Visi. Seorang berjiwa pemimpin sepatutnya memiliki kejelasan pandangan ke depan terhadap diri dan lingkungan yang ia pimpin.
2.Optimizing your self. Setiap orang unik dengan potensinya masing-masing. Potensi ini dapat dikembangkan dan diasah. Namun memang tidak semua ngeh dengan potensinya, bahkan tak jarang ia terkungkung oleh pikiran sendiri. Tepatlah ungkapan sebuah kalimat bijak bahwa seseorang dapat mengubah hidupnya dimulai dari mengubah caranya berpikir. Ketika pikiran positif, berbagai potensi ini pun akan semakin mudah ditajamkan. Salah satu potensi tersebut adalah sikap kepemimpinan itu sendiri. Tapi sekali lagi potensi yang telah menempel dalam diri setiap orang ini sepatutnya terus dipertajam. Potensi ini mesti dikenal dan dipelajari gambar besarnya, kemudian dilatih dan diasah melalui eksekusi lapangan. Lagi-lagi organisasi dapat menjadi wadah bagi siapa saja yang ingin mengaktualisasikan potensi dirinya.
3.Integritas dan Karakter. Integritas merupakan buah dari pengalaman dan bisa dicapai dengan jalan membangun kepercayaan, melayani sepenuh hati, serta berani menghadapi kesulitan. Sedangkan karakter terbentuk dari kebiasaan dan sikap tepat janji, konsisten dengan apa yang diucapkan dan disepakati, bertanggung jawab serta berkomitmen jujur dan terbuka, menepati dan menghargai waktu, maupun menjaga prinsip yang diyakini kebenarannya. Kesemuanya pun dapat dipupuk melalui interaksi dengan organisasi secara reguler. Dengan integritas dan karakter ini, seorang pemimpin akan berusaha selalu berada pada barisan terdepan dalam pelayanan. Seperti teori Stephen Covey, “A leader is the one who climbs the tallest tree, surveys the entire situation, and yells, ‘Wrong jungle!
4.Komunikasi efektif. Kemampuan menyampaikan pikiran dan kepiawaian dalam mendengarkan juga layak dimiliki pemimpin sejati. Ada proses komunikasi dua arah antara pemimpin dan yang dipimpin. Selain mampu mempengaruhi dan menyentuh jiwa, kepiawaian yang dapat diperoleh melalui interaksi dengan organisasi ini juga akan berdaya meruntuhkan sekat biang miss dalam komunikasi.Namun proses komunikasi tidak melulu melalui bahasa verbal. Bahasa tubuh pun dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif. Memberi contoh teladan yang baik misalnya juga dapat menjadi alternatif dalam berkomunikasi, bahkan dengan goresan kesan yang lebih mendalam.
5.Memberdayakan orang lain. Kemampuan memberdayakan -bukan memperdayai- menjadi bagian kekayaan karakter yang tak kalah berharga bagi seorang pemimpin. Kemampuan ini, seperti empat karakter lainnya, juga dapat diaktifasi melalui interkasi dengan organsisai, karena organisasi sendiri adalah miniatur kehidupan. Rekan sesama organisasi -bawahan maupun atasan- menjadi aset berharga untuk penumbuhan karakter ini. Di dalam organisasi setiap orang belajar mempercayai (believe in them), memotivasi (encourage them), berbagi (share with them), serta memberikan kepercayaan untuk melaksanakan tugas sekaligus mempercayai bahwa mereka bisa melakukannya (trust them).
Sebagai salah satu cerminan kepemimpinan di Indonesia, yaitu kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dapat dilihat dan dianalisis bersama bahwa lemahnya kepemimpinan SBY membawa dampak yang kompleks bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan depth interview yang dikembangkan, setidaknya terdapat empat persoalan penting yang dapat dianalisis, diantaranya:
Pertama, Banyak kasus yang tak tuntas selama era kepemimpinan SBY. Komunitas Hak Asasi Manusia memiliki kasus pembunuhan Munir; Komunitas politik memiliki kasus Bail-Out Bank Century; Komunitas pro keberagaman agama dan pluralisme memiliki kasus kekerasan atas Ahmadiyah; dan Komunitas anti korupsi memiliki kasus Nazarudin. Dari keempat kasus tersebut, tidak satupun kasus yang berhasil diselesaikan oleh SBY, meskipun telah berjanji akan menuntaskannya.
Kedua, SBY dipandang reaktif dan terlalu sering “curhat” untuk kasus yang menurut publik sepele. Sebagai contoh, SBY dinilai publik terlalu reaktif dalam merespon pesan pendek SMS yang memojokkan dirinya. Publik juga kecewa atas berbagai “curhat” yang dilontarkan oleh SBY, seperti curhat gaji Presiden SBY yang tidak naik selama 7 tahun dan curhat soal dirinya yang direpresentasikan sebagai Kerbau dalam sebuah aksi demo. Padahal idealnya, publik lah yang seharusnya menyampaikan “curhat” kepada presiden.
Ketiga, SBY tidak memiliki operator politik yang kuat. Dari 4 operator presiden (Wakil presiden, Partai Demokrat, Kabinet, dan Setgab Partai), tidak satupun yang mampu membantu presiden secara optimal. Wakil Presiden Boediono bukanlah tipe orang yang berani mengambil inisiatif dalam hal kebijakan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang dipandang sebagai wakil Presiden dengan tipe pendobrak, lincah dalam mengambil peran untuk membantu presiden; Menteri pun tidak mampu melakukan kerjanya secara baik, akibatnya adalah Presiden SBY dipandang gagal dalam mengarahkan para pembantunya; Partai Demokrat juga tidak memiliki kekuatan. Itu dikarenakan ketua umum Partai Demokrat tidak memiliki kewenangan sebesar ketua umum partai-partai lain; Setgab koalisi partai pun sama, tidak solid dan padu dalam mengoperasikan kebijakan SBY. Karena masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Keempat, SBY dinilai tidak berdaya dalam menangani kasus Nazarudin (mantan bendahara umum dan anggota DPR dari partainya sendiri). Terus dibiarkannya kasus Nazarudin bergulir tanda adanya penyelesaian hukum, publik akan menilai SBY telah keluar dari jalur perjuangannya sebagai presiden yang berani mengatakan tidak pada korupsi.
Berdasarkan uraian diatas, hal tersebut bukanlah untuk menghakimi beberapa pihak, akan tetapi merupakan salah satu upaya untuk menjadikan bangsa Indonesia mewujudkan cita-citanya sesuai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu, dapat dijadikan bahan renungan bahwa Indonesia kini membutuhkan ksatria-ksatria yang siap membela dan memperjuangkan Indonesia menuju kejayaan. Dari sinilah kemudian tergambar bahwasanya sebagai seorang pemuda/mahasiswa yang sering disebut kaum intelektual muda kampus memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mengkontribusikan pemikiran–pemikiran kritis dan ideal untuk membuka ruang pemikiran baru yang lebih visioner guna membangun kondisi bangsa yang lebih baik kedepannya, yang salah satunya adalah bagaimana kita sebagai mahasiswa bisa melihat seperti apa sosok kepemimpinan yang diperlukan bangsa Indonesia kedepannya, karena setiap kepemimpinan akan memiliki sejarahnya masing-masing dan hal ini sejalan dengan suatu pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang hebat, tangguh dan memiliki karakter yang kuat untuk mengejar cita-cita pembanguan ditengah segala problematika yang harus dihadapinya dengan visi dan sistem yang kuat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar