Selasa, 06 Desember 2011
Potret Pemimpin (Indonesia)
Salah satu cerminan kepemimpinan di Indonesia, yaitu kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dapat dilihat dan dianalisis bersama bahwa lemahnya kepemimpinan SBY membawa dampak yang kompleks bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan depth interview yang dikembangkan, setidaknya terdapat empat persoalan penting yang dapat dianalisis, diantaranya:
Pertama, Banyak kasus yang tak tuntas selama era kepemimpinan SBY. Komunitas Hak Asasi Manusia memiliki kasus pembunuhan Munir; Komunitas politik memiliki kasus Bail-Out Bank Century; Komunitas pro keberagaman agama dan pluralisme memiliki kasus kekerasan atas Ahmadiyah; dan Komunitas anti korupsi memiliki kasus Nazarudin. Dari keempat kasus tersebut, tidak satupun kasus yang berhasil diselesaikan oleh SBY, meskipun telah berjanji akan menuntaskannya.
Kedua, SBY dipandang reaktif dan terlalu sering “curhat” untuk kasus yang menurut publik sepele. Sebagai contoh, SBY dinilai publik terlalu reaktif dalam merespon pesan pendek SMS yang memojokkan dirinya. Publik juga kecewa atas berbagai “curhat” yang dilontarkan oleh SBY, seperti curhat gaji Presiden SBY yang tidak naik selama 7 tahun dan curhat soal dirinya yang direpresentasikan sebagai Kerbau dalam sebuah aksi demo. Padahal idealnya, publik lah yang seharusnya menyampaikan “curhat” kepada presiden.
Ketiga, SBY tidak memiliki operator politik yang kuat. Dari 4 operator presiden (Wakil presiden, Partai Demokrat, Kabinet, dan Setgab Partai), tidak satupun yang mampu membantu presiden secara optimal. Wakil Presiden Boediono bukanlah tipe orang yang berani mengambil inisiatif dalam hal kebijakan. Berbeda dengan Jusuf Kalla yang dipandang sebagai wakil Presiden dengan tipe pendobrak, lincah dalam mengambil peran untuk membantu presiden; Menteri pun tidak mampu melakukan kerjanya secara baik, akibatnya adalah Presiden SBY dipandang gagal dalam mengarahkan para pembantunya; Partai Demokrat juga tidak memiliki kekuatan. Itu dikarenakan ketua umum Partai Demokrat tidak memiliki kewenangan sebesar ketua umum partai-partai lain; Setgab koalisi partai pun sama, tidak solid dan padu dalam mengoperasikan kebijakan SBY. Karena masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda.
Keempat, SBY dinilai tidak berdaya dalam menangani kasus Nazarudin (mantan bendahara umum dan anggota DPR dari partainya sendiri). Terus dibiarkannya kasus Nazarudin bergulir tanda adanya penyelesaian hukum, publik akan menilai SBY telah keluar dari jalur perjuangannya sebagai presiden yang berani mengatakan tidak pada korupsi.
Berdasarkan uraian diatas, hal tersebut bukanlah untuk menghakimi beberapa pihak, akan tetapi merupakan salah satu upaya untuk menjadikan bangsa Indonesia mewujudkan cita-citanya sesuai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu, dapat dijadikan bahan renungan bahwa Indonesia kini membutuhkan ksatria-ksatria yang siap membela dan memperjuangkan Indonesia menuju kejayaan. Dari sinilah kemudian tergambar bahwasanya sebagai seorang pemuda/mahasiswa yang sering disebut kaum intelektual muda kampus memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mengkontribusikan pemikiran–pemikiran kritis dan ideal untuk membuka ruang pemikiran baru yang lebih visioner guna membangun kondisi bangsa yang lebih baik kedepannya, yang salah satunya adalah bagaimana kita sebagai mahasiswa bisa melihat seperti apa sosok kepemimpinan yang diperlukan bangsa Indonesia kedepannya, karena setiap kepemimpinan akan memiliki sejarahnya masing-masing dan hal ini sejalan dengan suatu pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang hebat, tangguh dan memiliki karakter yang kuat untuk mengejar cita-cita pembanguan ditengah segala problematika yang harus dihadapinya dengan visi dan sistem yang kuat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar