“kalau
kau tak punya malu, berbuatlah sesukamu”
Petikan
hadits inilah yang sampai saat ini mampu menjadi sebuah perekat bagi diri saya
terhadap apa yang ada dihadapan saya (amanah). Kalau saja diri ini hanyalah
milik pribadi saya, saya akan berbuat semau saya. Sayangnya, sekarang bukan
hanya kepunyaan diri pribadi saya saja diri ini. Sehingga setiap hal yang
dilakukan haruslah dipertimbangkan, agar tidak menciderai setiap sayap yang
saya punya. Walaupun terkadang membawa luka.
Saya
ingin berkata kepada pemilik diri ini, kenapa harus begini dan seperti ini?
Lika liku kehidupan ini benar-benar membuat saya semakin yakin bahwa Engkau
begitu mencintai saya, namun apa balasan saya?
Saya
ingin berkata pada tubuh saya. Kau sekarang punya siapa? Hingga kadang kau
melupakan hak atas dirimu? Kalau kau mau, kau bisa lakukan sesukamu, asal kau
tak punya malu.
Berada
dalam dua hal yang amat bertolak belakang, membuat saya banyak melupakan
hak-hak yang harus saya berikan kepada tubuh ini, pikiran ini dan jiwa ini.
Satu sisi berada dalam hal-hal yang bersifat politis, satu sisi bersifat non
politis bahkan anti politis, disisi lain bersifat demokratis. Dengan
masing-masing tugas, wewenang, tanggung jawab, tekanan bahkan tuntutan
masing-masing sayapku. Benar-benar harus mampu memainkan peran sesuai dengan
porsinya. Supaya tidak ada yang terluka, walau saya yang harus terluka, tak
apa. Tapi tahukah kamu? Saya bukan Abu Bakar yang senantiasa setia kepada
Rasulullah, saya bukan Umar bin Khattab dengan ketegasan dan kehormatannya,
saya bukan Ali bin Abi Thalib dengan kejujurannya dan saya bukanlah Usman bin
Affan dengan segala kelebihannya. Bolehkah saya memilih pilihan saya? Sekali
lagi, kalau kau tak punya malu, berbuatlah sesukamu.
Menjalaninya
tidak semudah membalikkan telapak tangan ataupun melempar batu. Saya sadar, bahwa
apa yang saya alami sekarang ini bukanlah hal besar dan bukanlah apa-apa
dibandingkan dengan yang lainnya. Tapi bagaimana saya harus berbuat? Membagi
diri atau membohongi diri.
Silakan,
anda boleh bilang bahwa saya itu munafik. Saya tidak akan menafikan hal itu.
Akan tetapi ada hal yang menjadi kelemahan dalam diri saya, bahwa saya tidak
bisa melihat sayap-sayap saya terluka karena ketidakpunyamaluan saya. Saya
tidak bisa mendengar rintihan bulu-bulu sayap saya karena menanti
ketidakpastian dari saya. Tapi saya punya cinta, yang saya pun tak tahu
kedalamannya hingga membuat saya menggila seperti ini. Hingga saya telah mati
rasa akan cinta seorang kasih, hanya karena mu. Beritahu diriku, seberapa besar
cintamu? Agar saya mampu menjagamu.
Apa
yang salah, hingga badan ini terasa teramat sakit dan remuk. Hanya sebuah ketulusan yang akan
mengobatinya. Dan saya menantikan manisnya janjiNya, mengharapkan belai
kasihNya. Di jalan ini, jalan yang berbeda dari yang lainnya. Karena saya ingin
berbeda, karena kita Masterpiece of Allah.
Wahai
sayap-sayap ku., tetap tenanglah kau bersamaku
Walau
aku bukanlah malaikat., aku akan menjagamu
Wahai
sayap-sayap ku., aku akan tetap menurutimu
Walau
tuntutanmu tak sesuai dengan mampuku
Wahai
sayap-sayap ku., aku tahu betapa
rapuhnya aku
Aku
pun tahu betapa lemahnya aku
Tapi,
dari semua itu, pada siapa aku bisa mengadu?
Tuhanku,
Kau telah menegurku dengan cukup sopan,
Dengan
semayup suara adzan,
Kau
telah menegurku dengan cukup sopan,
Lewat
perut anak-anak kelaparan.
Tuhanku,
maafkan aku yang tak punya malu dan berbuat sesukaku.