Dewasaku adalah bersaudara.
Dipertemukan dalam sebuah ikatan keluarga, Racana Diponegoro,
Pramuka. Sekitar kurun waktu dua tahun lebih berada dalam lingkaran
persaudaraan Racana Diponegoro. Dalam kurun waktu itu pula, berbagai
pengalaman yang saya rasakan. Baik hal-hal baik ataupun hal-hal yang
unik. Disitu pula, berbagai perasaan terbalut, baik senang, sedih,
benci hingga cinta menggelayut di dalam hati. Sulit diungkapkan
dengan perkataan, namun dapat dirasakan. Hanya bisa dirangkai dengan
senyuman.
Berawal dari bulan Maret
2010, bermodal keinginan yang kuat dan inspirasi dari seorang Kakak,
saya memberanikan diri untuk bergabung dalam sebuah Gerakan Pramuka
Perguruan Tinggi yang sering disebut dengan Racana. Yah, Racana
Diponegoro pramuka Undip. Banyak tantangan yang datang ketika hendak
mendaftar dan mengikuti kegiatan Diklatsar. Sempat gusar ketika
lembaga yang menaungi saya tidak mengijinkan saya mengikuti Racana,
namun berbekal keyakinan dan pengertian saya tetap mengikuti Racana
Diponegoro. Bahkan, sempat dibilang egois dan semacamnya. Tapi, saya
menyikapi hal-hal tersebut sebagai sebuah motivasi untuk terus
melangkah.
Hingga menjadi peserta LPK
XXX, kegiatan tersebut berbeda dengan kegiatan semacamnya diluar
sana. Sempat membandingkan tentang kompetensi yang dihasilkan dari
kegiatan tersebut. Memang beda, itulah pola pembinaan dan
pengembangan yang ada di Pramuka, khususnya racana Diponegoro.
Walaupun pada kenyataannya masih ada hal-hal yang kurang relevan
dengan kondisi sekarang. Tapi, saya ambil positifnya saja, barangkali
ada hal baik yang sedang dirancang. Namun, kini setelah dua tahun
berada di keluarga ini memang ada semacam hal yang bersifat turun
temurun dan sekedar rutinitas tanpa tahu esensi yang diharapkan. Hal
ini lah yang perlu diperbaiki.
LPK merupakan syarat untuk
menjadi Pandega Muda, dengan berbagai tugas dan wewenangnya. Tapi
jujur, dulu ketika mengikuti LPK sebatas ingin mencari ilmu dan
mengikuti prosedur yang telah ada tanpa tahu esensi yang diharapkan.
Hingga saya dikukuhkan menjadi Pandega Muda, walaupun susulan.
Baru saya tahu, bahwa di
Racana Diponegoro menerapkan sistem penjenjangan dalam pola
pembinaannya, bukan menggunakan pengujian SKU (Syarat Kecakapan Umum)
yang biasa digunakan oleh Racana-racana lain.
Beberapa bulan berikutnya,
mengikuti prosesi Pandega Madya. Awalnya memang terpaksa saya
mengikutinya, dengan alasan adanya berbagai aktivitas diluar Racana.
Disamping itu, saya berpikir bahwa dalam sebuah organisasi, haruslah
ada kaderisasi yang kemudian ada pula yang membimbing adik-adik yang
lebih muda. Tentang tugas dan tanggung jawab, secara perlahan memulai
untuk memahami dan menjalankannya, walaupun belum maksimal dan hanya
sebatas kemampuan saya.
Dalam masa kepengurusan
Dewan Pandega, saya di tahun 2011 dipercaya menjadi Bidang Kegiatan
dan operasional 11.046 bersama Kak Eko Sugeng Haryono. Dengan
berbagai tantangan yang dihadapi, saya pun sedikit kesulitan tentang
“gawean” yang saya jalani. Kesulitan dalam mobilitas, hingga
komunikasipun saya alami. Satu periode kepengurusan yang telah
dijalani dengan “track record” yang kurang maksimal di Bidang
Kegiatan dan Operasional, amanah kembali hadir. Dengan diskusi
panjang dan beberapa kali penolakan, akhirnya saya dikukuhkan menjadi
Pemangku Adat 11.046 RD bersama Kak Hervian Setyo Nugroho. Dengan
perdebatan yang cukup alot tentunya.
Selama keberjalanannya,
banyak tantangan yang kami hadapi. Dalam hal ini, kami sedang
belajar. Memahami Racana Diponegoro, dan segala tugas dan wewenang
yang ada. Kami tetap mencoba, walau terkadang lelah pikir sering
menyapa.
Dan sekarang, ketika kita
berpikir tentang Pramuka Perguruan Tinggi yaitu Racana Pandega, salah
satu satuan pramuka dalam sebuah Gugus Depan. Usia kepandegaan yaitu
21-25 tahun, dan bisa dilihat bahwasanya rata-rata umur mahasiswa
yang mengikuti pramuka di PT berkisar 18-23 tahun, sehingga belum
dapat dikatakan sebagai Pandega. Oleh karena itu, penjenjangan
kepandegaan di Racana Diponegoro pun juga disesuaikan umur, dan
tentunya telah melewati kecakapan tersendiri.
Berkaca pada diri sendiri,
apakah saya layak untuk dilantik sebagai Pandega, secara jujur saya
belum layak untuk dikukuhkan. Mengingat banyak proses yang belum
dapat saya lalui dan lakukan sebagaimana mestinya. Menjadi seorang
Pandega tentunya harus memiliki kompetensi-kompetensi Pandega dan hal
itu belum saya miliki. Bagi saya, yang terpenting adalah pengabdian
bukan status.
Akan tetapi, mengingat usia
kepandegaan, saya memiliki tanggung jawab sebagai Anggota Gerakan
Pramuka untuk meneruskan perjuangan. Karena tidak semuanya
berkesempatan untuk menjadi Pandega. Kalau tidak ada pandega dalam
sebuah Gerakan pramuka Perguruan Tinggi, maka tidak dapat disebut
dengan istilah Racana, namun satuan Ambalan. Hal itu yang tidak saya
inginkan, karena akan berdampak pada kematian sebuah organisasi
kepramukaan yaitu Racana Diponegoro. Oleh karena itu, saya merasa
bertanggung jawab terhadap gerakan pramuka khususnya Pramuka Perti.
Menjadi Pandega, tentu saja
memiliki tugas dan wewenang yang ada di Gerakan Pramuka Perti maupun
di Pola pembinaan dan pengembangan Racana Diponegoro. Sehingga,
ketika sudah menjadi Pandega, konsekuensi yang harus dilakukan adalah
menjalankan tugas dan wewenang yang ada di Gerakan Pramuka Perti
maupun di Pola pembinaan dan pengembangan Racana Diponegoro dengan
sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.
Pandega, bukanlah tugas
biasa. Ada hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan senyuman,
semoga kutemukan jalan indah di Jalan Pramuka.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar