Selasa, 19 Juni 2012

Seutas Senyum di Jalan Pramuka

Dewasaku adalah bersaudara. Dipertemukan dalam sebuah ikatan keluarga, Racana Diponegoro, Pramuka. Sekitar kurun waktu dua tahun lebih berada dalam lingkaran persaudaraan Racana Diponegoro. Dalam kurun waktu itu pula, berbagai pengalaman yang saya rasakan. Baik hal-hal baik ataupun hal-hal yang unik. Disitu pula, berbagai perasaan terbalut, baik senang, sedih, benci hingga cinta menggelayut di dalam hati. Sulit diungkapkan dengan perkataan, namun dapat dirasakan. Hanya bisa dirangkai dengan senyuman.

Berawal dari bulan Maret 2010, bermodal keinginan yang kuat dan inspirasi dari seorang Kakak, saya memberanikan diri untuk bergabung dalam sebuah Gerakan Pramuka Perguruan Tinggi yang sering disebut dengan Racana. Yah, Racana Diponegoro pramuka Undip. Banyak tantangan yang datang ketika hendak mendaftar dan mengikuti kegiatan Diklatsar. Sempat gusar ketika lembaga yang menaungi saya tidak mengijinkan saya mengikuti Racana, namun berbekal keyakinan dan pengertian saya tetap mengikuti Racana Diponegoro. Bahkan, sempat dibilang egois dan semacamnya. Tapi, saya menyikapi hal-hal tersebut sebagai sebuah motivasi untuk terus melangkah.

Hingga menjadi peserta LPK XXX, kegiatan tersebut berbeda dengan kegiatan semacamnya diluar sana. Sempat membandingkan tentang kompetensi yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Memang beda, itulah pola pembinaan dan pengembangan yang ada di Pramuka, khususnya racana Diponegoro. Walaupun pada kenyataannya masih ada hal-hal yang kurang relevan dengan kondisi sekarang. Tapi, saya ambil positifnya saja, barangkali ada hal baik yang sedang dirancang. Namun, kini setelah dua tahun berada di keluarga ini memang ada semacam hal yang bersifat turun temurun dan sekedar rutinitas tanpa tahu esensi yang diharapkan. Hal ini lah yang perlu diperbaiki.

LPK merupakan syarat untuk menjadi Pandega Muda, dengan berbagai tugas dan wewenangnya. Tapi jujur, dulu ketika mengikuti LPK sebatas ingin mencari ilmu dan mengikuti prosedur yang telah ada tanpa tahu esensi yang diharapkan. Hingga saya dikukuhkan menjadi Pandega Muda, walaupun susulan.

Baru saya tahu, bahwa di Racana Diponegoro menerapkan sistem penjenjangan dalam pola pembinaannya, bukan menggunakan pengujian SKU (Syarat Kecakapan Umum) yang biasa digunakan oleh Racana-racana lain.

Beberapa bulan berikutnya, mengikuti prosesi Pandega Madya. Awalnya memang terpaksa saya mengikutinya, dengan alasan adanya berbagai aktivitas diluar Racana. Disamping itu, saya berpikir bahwa dalam sebuah organisasi, haruslah ada kaderisasi yang kemudian ada pula yang membimbing adik-adik yang lebih muda. Tentang tugas dan tanggung jawab, secara perlahan memulai untuk memahami dan menjalankannya, walaupun belum maksimal dan hanya sebatas kemampuan saya.

Dalam masa kepengurusan Dewan Pandega, saya di tahun 2011 dipercaya menjadi Bidang Kegiatan dan operasional 11.046 bersama Kak Eko Sugeng Haryono. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, saya pun sedikit kesulitan tentang “gawean” yang saya jalani. Kesulitan dalam mobilitas, hingga komunikasipun saya alami. Satu periode kepengurusan yang telah dijalani dengan “track record” yang kurang maksimal di Bidang Kegiatan dan Operasional, amanah kembali hadir. Dengan diskusi panjang dan beberapa kali penolakan, akhirnya saya dikukuhkan menjadi Pemangku Adat 11.046 RD bersama Kak Hervian Setyo Nugroho. Dengan perdebatan yang cukup alot tentunya.

Selama keberjalanannya, banyak tantangan yang kami hadapi. Dalam hal ini, kami sedang belajar. Memahami Racana Diponegoro, dan segala tugas dan wewenang yang ada. Kami tetap mencoba, walau terkadang lelah pikir sering menyapa.

Dan sekarang, ketika kita berpikir tentang Pramuka Perguruan Tinggi yaitu Racana Pandega, salah satu satuan pramuka dalam sebuah Gugus Depan. Usia kepandegaan yaitu 21-25 tahun, dan bisa dilihat bahwasanya rata-rata umur mahasiswa yang mengikuti pramuka di PT berkisar 18-23 tahun, sehingga belum dapat dikatakan sebagai Pandega. Oleh karena itu, penjenjangan kepandegaan di Racana Diponegoro pun juga disesuaikan umur, dan tentunya telah melewati kecakapan tersendiri.

Berkaca pada diri sendiri, apakah saya layak untuk dilantik sebagai Pandega, secara jujur saya belum layak untuk dikukuhkan. Mengingat banyak proses yang belum dapat saya lalui dan lakukan sebagaimana mestinya. Menjadi seorang Pandega tentunya harus memiliki kompetensi-kompetensi Pandega dan hal itu belum saya miliki. Bagi saya, yang terpenting adalah pengabdian bukan status.

Akan tetapi, mengingat usia kepandegaan, saya memiliki tanggung jawab sebagai Anggota Gerakan Pramuka untuk meneruskan perjuangan. Karena tidak semuanya berkesempatan untuk menjadi Pandega. Kalau tidak ada pandega dalam sebuah Gerakan pramuka Perguruan Tinggi, maka tidak dapat disebut dengan istilah Racana, namun satuan Ambalan. Hal itu yang tidak saya inginkan, karena akan berdampak pada kematian sebuah organisasi kepramukaan yaitu Racana Diponegoro. Oleh karena itu, saya merasa bertanggung jawab terhadap gerakan pramuka khususnya Pramuka Perti.

Menjadi Pandega, tentu saja memiliki tugas dan wewenang yang ada di Gerakan Pramuka Perti maupun di Pola pembinaan dan pengembangan Racana Diponegoro. Sehingga, ketika sudah menjadi Pandega, konsekuensi yang harus dilakukan adalah menjalankan tugas dan wewenang yang ada di Gerakan Pramuka Perti maupun di Pola pembinaan dan pengembangan Racana Diponegoro dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.

Pandega, bukanlah tugas biasa. Ada hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan senyuman, semoga kutemukan jalan indah di Jalan Pramuka.

Semoga bermanfaat.

0 komentar: