Sabtu, 06 Oktober 2012

Marriage (jilid 2)

Menikah, menyempurnakan separo dinnullah, menjalankan ibadah sunah Rasulullah. Tidak jarang di usia kita sekarang (19-20an) mulailah ada perasaan dan keinginan untuk menunaikan hajat tersebut, bahkan menikah bukan menjadi sebuah bahasan yang tabu untuk dibicarakan –beramai-ramai-. Dan tidak sedikit yang sudah menunaikannya diusia kita sekarang. Bahkan bukan hal langka bagi Al Akh dan Al ukh (di usia sekarang) memiliki niatan untuk menunaikan sunah tersebut. Entah karena memang sudah siap atau sekedar keinginan atau malah karena nafsu. Naudzubillah.
Maukah Anda menikah? Ya, tentulah setiap orang mau menikah. Tetapi waktu yang akan membedakannya. Dan setiap orang pastilah punya targetan untuk hal itu.
Tapi jangan buru-buru, sudah siapkah Anda dengan segala resikonya? :P
Mengenai pernikahan, menjadi suatu perkara yang harus disegerakan. Apabila telah memenuhi kemantapan, baik spiritual maupun material. Akan tetapi terkadang ada saja alasan-alasan yang diada-adakan, beralaskan kesiapan padahal sejatinya adalah nafsu belaka. Ataukah memang sudah ada yang sedang menunggu? :p Menyegerakan terbalik menjadi tergesa-gesa. Itu yang harus kita pikirkan matang-matang.
Disisi lain, kita harus tahu, apa tujuan kita menikah. Apakah hanya sebatas keinginan (nafsu), kesiapan, atau umur yang sudah tak muda lagi. Rasulullah bersabda:
Wahai generasi muda, barangsiapa diantara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa diantara kalian yang belum mampu maka hendaklah berpuasa. Karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak hawa nafsu. (HR Bukhari Muslim)
Dari hadist diatas kita ditunjukkan betapa mulianya sebuah pernikahan. Dalam hadist tersebut, Rasulullah menganjurkan untuk segera menikah apabila sudah mampu dan berkeinginan, hal ini juga menjadi sebuah catatan untuk kita, apakah sudah benar-benar mampu ataukah hanya sebatas keinginan. Harus digaris bawahi, bahwa dianjurkan untuk menikah apabila telah mampu dan berkeinginan. Tentunya dengan berbagai syarat yang pula menyertainya.
Dihadapkan pada realita yang ada, sebagai aktivis dakwah sudah seharusnya memprioritaskan urusan agama dalam mempertimbangkan dan memutuskan untuk melangsungkan sunah tersebut. Sudah selayaknya pula kita memikirkan generasi penerus kita di masa mendatang. Apakah setelah kita memutuskan untuk menikah, kita juga masih istiqomah di jalan dakwah? Barangkali ada yang memiliki pemikiran –kapan saatnya mengurusi diri sendiri, kenapa terus terusan ngurusin umat- semoga kita tidak tergolong orang yang berpikiran seperti demikian.
Menikah bukan hanya kepentingan pribadi kita, melainkan banyak pihak yang harus terlibat dalam kebahagiaan tersebut. Karena sebagai aktivis dakwah (sejak lahir kita adalah seorang da’i) kita bukanlah utilitas pribadi, bahwa hidup kita tidak hanya untuk kita sendiri. Oleh karena itu, menikah adalah salah satu sarana untuk menambah kebermanfaatan kita terhadap umat. Ketika masih sendiri, track record kita di jalan dakwah barangkali belum sempurna, oleh karenanya kelak disempurnakan dengan hadirnya pasangan kita yang setia bersama-sama berjalan di jalan dakwah ini. Insyaallah.
Hal tersebut akan memunculkan pertanyaan besar dalam benak kita, sudah beranikan kita mengazamkan diri untuk menjalankan sunah tersebut? ketika diri ini masih harus banyak berkontemplasi dan memperbaiki diri. Karena kita tidak ada yang tahu bagaimana kaki-kaki kita akan melangkah kelak, akahkah kita masih istiqomah di jalan ini atau tidak. Tugas kita adalah senantiasa memperbaiki diri dan taat kepada Allah, mensholehklan diri untuk kelak juga mendapatkan yang sholeh. Karena perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Sudah baikkah kita? Hanya diri kita dan Allah yang Maha Tahu.
Wallahu’alam bishawab

0 komentar: