Kita adalah cerminan dari agama yang kita yakini, kita adalah gambaran dari jamaah yang telah membentuk kita. Bagaimana akhlak kita akan mencerminkan bagaimana jamaah membentuk kita, walau tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa tindak tanduk kita kadang adalah kehendak kita pribadi. Akan tetapi orang lain yang melihat kita akan tetap mengaitkannya dengan lingkungan kita, jamaah kita hingga agama kita.
Ada sebuah cerita, yang semoga bisa diambil hikmah walaupun pemeran utama adalah seorang Nasrani. Dari sudut manapun, kita bisa belajar.
--Kuliah Kerja Nyata merupakan ajang bagi mahasiswa untuk belajar memberdayakan masyarakat, berbaur dengan masyarakat dan berbagi ilmu dengan masyarakat, walau disisi lain kita juga belajar banyak hal tentang kehidupan bermasyarakat, adat istiadat, budaya hingga norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. KKN kali ini saya mempunyai program Penyuluhan tentang Manajemen Pemeliharaan Sapi, karena mayoritas penduduk desa tempat saya KKN adalah peternak sapi. Bermodalkan sedikit ilmu yang saya miliki, saya mencoba untuk merencanakan program tersebut. Dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki itulah dan dengan mental yang kala itu sedang diujung jari, saya mencoba untuk meminta bantuan kepada salah satu dosen di Fakultas saya. Benak saya mulai mencari-cari sosok yang mampu membantu saya dalam program ini.
Akhirnya saya menemukannya, bukan karena disiplin ilmu beliau tetapi karena akhlak dan kepribadian beliau yang menurut saya itu hal yang mengagumkan. Saya mencoba menghubungi beliau,
“Selamat Pagi Bapak, mohon maaf mengganggu.. Saya Siti Aminah, mahasiswa KKN di Magelang” ucap saya dibalik telepon.
“Oh iya, ini Yendy, Siti Aminah Yendy yah?” jawaban beliau yang membuat saya termangu. Beliau hafal nama lengkap saya. Satu point plus dalam sebuah hubungan interpersonal, menghafal nama lawan bicara.
“Oh iya Bapak” tutur saya.
“Gimana, gimana, ada yang bisa saya bantu Yend?” sahut beliau dengan ramah, membuat saya agak kikuk.
“Begini Pak, di desa tempat saya KKN, saya mengadakan program tentang penyuluhan manajemen pemeliharaan sapi yang saya arahkan pada penggemukan sapi potong. Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang hal tersebut, saya memohon bantuan agar Bapak berkenan menyampaikan materi tentang itu, pripun Pak?” pinta saya dengan nada cukup bergetar.
Pendek kata, beliau menyetujui permintaan saya dengan syarat saya harus membuat leaflet tentang materi penyuluhan, dan saya tetap harus menyampaikan materi di depan warga serta harus menjemput beliau di Jogja pukul 6 pagi. Saya pun menyetujui syarat yang diajukan beliau.
Malam harinya saya ngebut membuat leaflet untuk materi penyuluhan. Strategi beliau, supaya saya juga belajar tentang materi tersebut,. Okelah. Sudah saya kirim ke email beliau.
Rapat desa digelar, teman-teman KKN saya tidak bisa menjemput Pak Dosen ke Jogja, singkat cerita, saya membatalkan permintaan saya kepada beliau.
“Bapak, mohon maaf.. berkenaan dengan penyuluhan, ternyata teman saya tidak bisa menjemput Bapak di Jogja, mohon maaf Bapak, Saya akan mencoba menyampaikan sendiri sebisa saya Pak, akan saya coba.” ujar saya.
“Oke, tidak apa-apa Aminah, Saya yakin kamu bisa, selamat melakukan yang terbaik”. Balas beliau.
Penyuluhan telah berjalan lancar, tidak lupa saya SMS kepada beliau, mengucapkan terima kasih atas bantuan beliau. Tidak ada balasan kala itu. Beberapa hari kemudian, pukul 23.39 beliau mengirimkan sebuah SMS kepada saya,
“Aminah, Sukses Selalu, Tks, GBUs”
Saya tidak dapat berkata apa-apa, bahkan SMS beliau pun tidak saya balas. Saya masih berpikir panjang, apa maksud dari SMS beliau di tengah malam itu.
Hingga saya tersadar, sesibuk apapun beliau masih meluangkan waktu untuk membalas SMS saya (yang notabene hanya mahasiswa biasa) walaupun ditengah malam. Menjadi intropeksi bagi diri saya yang sering tidak membalas SMS dari banyak orang, dengan alasan malas dan lain sebaginya.
Inti dari cerita diatas adalah, bahwa sang dosen yang beragama nasrani ini mampu menjadi agen “christ” yang baik. Akhlak beliau yang santun, ramah, penuh semangat dan optimisme, perlu kita tiru. Ini bukan perihal agama, tetapi lebih kepada reputasi individu yang menjadi agen kebaikan. Beliau mampu merepresentasikan ajaran kebaikan dalam dirinya yang beliau pancarkan kepada sesama. Dan hal itu membangun sebuah reputasi positif bagi beliau, dan tentunya ajaran kebaikan.
Sebagai seorang muslim, kita terkadang lupa akan hal-hal kecil yang kadang dianggap besar oleh orang lain. Seperti menyapa dan melempar senyuman kepada siapapun yang kita temui. Memang hal kecil, tapi hal kecil itu akan membentuk reputasi pribadi kita. Bahwa kita adalah agen muslim yang baik. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, ajarannya tidak diragukan lagi kebenarannya, karena jelas datang langsung dari Allah SWT. Ajaran-ajaran Islam itulah yang harus kita implemantasikan secara efektif kedalam kehidupan sehari-hari kita. Agar reputasi positif itu terbangun secara alami, dan pula akan berpengaruh pada sebuah karakter, karakter kepribadian Islami.
Hingga saya teringat potongan hadits, “Khairunnas anfa uhum linnas—Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk sesamanya”. Dari hadits tersebut, semakin membukakan mata, bahwa kita sebagai seorang muslim harus mampu memberikan kebermanfaatan kepada orang lain, selalu bersikap ramah dan lebih-lebih mampu menjadi penyebab kebahagiaan orang lain.
Masih ingat dengan kisah seorang pengemis Yahudi buta yang amat membenci dan menghina Rasulullah? Bahkan, Rasulullah memperlakukan orang yang membencinya dengan perlakuan yang amat mulia, rutin menyuapi makanan kepada pengemis tersebut. Hingga akhirnya pengemis pun terkesan kepada akhlak beliau. Kita memang bukanlah Rasulullah SAW, tetapi paling tidak kita adalah umat beliau yang menganut ajarannya, sehingga sedikit banyak kita haruslah mengikuti sunnah beliau, dengan bersikap baik terhadap siapapun.
Semoga kita tergolong umat beliau, dengan menjadi AGEN MUSLIM YANG BAIK
0 komentar:
Posting Komentar