Sabtu, 25 Maret 2017

Pendidikan Seksualitas Sejak Dini


Bismillahirrahmanirrohim

Ukhtifillah, tema kali ini semoga menarik. Menilik banyaknya kasus yang merebak di masyarakat dan juga kurangnya pemahaman bahkan di kalangan ummahat, maka temanya adalah: “Pendidikan Seksualitas Sejak Dini “


“Hah? Nggak salah tuh?” Mungkin ada yang mengerutkan dahi melihat judul di atas. Bagaimana mungkin anak kecil sudah diajari pendidikan seksualitas? Pertama saya ingin bahas istilah dulu. Seringkali kita mendengar kata pendidikan seks. Sebenarnya yang tepat adalah pendidikan seksualitas. Seks mananya adalah jenis kelamin atau hubungan kelamin, yang demikian mungkin tak perlu pendidikan, hanya butuh coaching saja. Tetapi seksualitas maknanya lebih luas dari sekedar pendidikan seks. Sebenarnya lebih santun menggunakan istilah tarbiyah jinsiyah, dengan istilah itu terkandung makna yang lebih luas, bahwa pendidikan seksualitas berada dalam bingkai pendidikan secara umum. bukan berdiri di ruang hampa.


Adapun dengan judul diatas...Eits, jangan salah sangka dulu. Yang namanya mendidik anak, memang harus dimulai sejak dini. Yup, bahkan sejak masih merencanakan berkeluarga. Yaitu saat seseorang memutuskan untuk menikah. Siapa pasangan hidupnya, itu adalah awal pendidikan seks untuk anaknya kelak. Jika lelaki menikah dengan perempuan dan sebaliknya seorang perempuan memilih lelaki untuk pasangan hidupnya, ini adalah awalan yang benar. Bukankah sekarang telah ada pernikahan sejenis yang dilegalkan ataupun diam-diam. Keluarga adalah role model bagi anak untuk meniru identitas dan peran gender!


Demikian pula sejak proses pembentukan keluarga itu sendiri. Saat pasangan memualinya dengan santun sesuai kaidah agama dan norma kebaikan yang berlaku di masyarakat, maka anak-anak nanti akan belajar bagaimana awal mula keluarganya terbentuk. Berlanjut pada masa kehamilan. Saat orang tua merencanakan kehamilan, hindarkan dari terlalu berharap anaknya nantinya memiliki jenis kelamin tertentu. Orang tua bisa kecewa dan ‘menolak’ kehadiran anak secara psikologis saat tahu anak yang dikandungnya atau bahkan telah dilahirkan ternyata perempuan, misalnya karena ia ingin anak laki-laki. So, siapkan diri menjadi orang tua, mencintai dan menerima takdir jenis kelamin sang anak.


Bagaimana konten pendidikan seksualitas ini? Sesungguhnya ia tidak berdiri sendiri sebagai sebuah bahasan. Betapa dangkalnya jika pendidikan seksualitas hanya dikaitkan dengan kesehatan reproduksi, perasaan tidak nyaman dan keamanan si anak. Pendidikan seks mestinya menyangkut masalah keyakinan keimanan, ibadah dan juga akhlak. Waah masak sih? Kita meyakini hanya ada dua gender atau jenis kelamin di dunia ini yang diciptakan Tuhan, karena ada dalam kitab suciNya. Terlaknatlah kaum yang membolehkan lelaki menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai lelaki atau saling menyukai terhadap yang sejenis. Semua agama sepakat dalam hal ini. Situasi dewasa ini telah membuktikan dengan maraknya kasus HIV/AIDS, yang belum kunjung menemukan pengobatan yang tepat. Penyakit ini diduga karena hubungan seksual sejenis. Keimanan seseorang juga akan menyetir perilakunya, mengekang nafsu dan menjaga kehormatan diri. Yakin kan jika masalah pendidikan seks adalah bagian dari keimanan?


Menyangkut ibadah, benarkah? Manusia diciptakan untuk menghamba pada Tuhan. Memberikan yang terbaik sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Setiap perbuatannya adalah bagian dari ibadahnya, termasuk cara ia berpakaian, bergaul, berumah tangga dan memiliki anak-anak. Agama telah mengaturnya dengan lumayan rinci. Bahkan dalam Islam diatur cara bersuci dari hadats, najis dan junub setelah melakukan hubungan suami istri. Ada juga doa dan tuntunan dalam berhubungan suami istri sebagai bagian ibadah. Adapun bagian dari pendidikan akhlak, tak diragukan lagi. Ketinggian akhlak akan berpengaruh pada ketinggian peradaban. Generasi yang bualitas tergantung dari pendidikan moral dan perilaku mereka.


Pendidikan seksualitas adalah bagian dari membangun masyarakat yang beradab, jauh dari prilaku seksual menyimpang, pelecehan seksual dan kejahatan seksual. Sebagian bunda lebih suka mengenalkan pendidikan seksual ini dari sudut pandang sains dan anatomi. Saya mengajak untuk melengkapi dengan melihatnya dari sudut pandang ibadah/agama. Nah baca selengkapnya ya...


TAHAP PENDIDIKAN SEKSUAL

a.      Usia 0-2 Tahun Adalah Usia Bayi Pada Masa Penyusuan

Bagaimana pendidikan seksual pada usia ini?

Sekalipun bayi kita seolah belum mengerti apa-apa, sesungguhnya mereka selalu belajar melalui indera dan rasa, maka selayaknya orang tua mulai menanamkan rasa malu dengan cara tidak mengumbar aurat bayi di sembarang tempat. Saat memandikan, mengganti baju, mengganti popok, mencebok bayi, diusahakan dalam ruang tertutup. Jika di tempat terbuka, tutuplah auratnya dari pandangan orang lain dengan selembar kain misalnya. Saat sang ibu menyusui bayi, maka hanya bayinya yang berhak untuk berinteraksi dan melihat aurat bagian atas ibunya. Kakak-kakak bayi yang sudah tidak dalam masa menyusu, sudah tidak berhak untuk melihat nenen bunda.

Penting diketahui bahwa menjadi ibu susu untuk anak lain hanya berlaku saat anak susu masih berusia dibawah dua tahun. Tidak boleh menyusui anak orang lain (menjadi ibu susu) bagi anak yang berusia lebih dari 2 tahun. Para bunda selayaknya bersiap menyapih anak pada saat usia 2 tahun. Jika ada masa toleransi masa penyapihan, maka usahakan hanya beberapa bulan saja, bukan berbilang tahun.

Orang tua yang melakukan proses hubungan suami istri, tidak boleh disaksikan oleh anaknya sekalipun masih bayi. Bahkan suaranya pun tidak boleh terdengar oleh bayinya. So, lakukan hanya saat bayi tidur atau saat tak ada bayi/anak dalam ruangan orang tua.

      Prinsip pada masa ini: berusaha menutup aurat anak dan aurat diri.


b.      Usia 2-4 Tahun Memasuki Masa Penyapihan

Semestinya anak (disebutnya anak, bukan bayi lagi) sudah tidak boleh melihat nenen. Pada usia ini, anak mulai diberikan pemahaman tentang menutup aurat mugholadzoh (aurat berat), yakni qubul dan dubul. Sudut pandang psikologi menyebut usia 1,5 – 3 tahun adalah fase anal dan dilanjut dengan fase uretral. Ditandai dengan matangnya syaraf otot sfingter anus, sehingga anak mulai belajar mengatur berak dan nantinya pipis. Anak kadang memegang-megang alat kelaminnya. Bagaimana sikap yang tepat?Anda dapat mengalihkan tangan anak anda untuk melakukan aktivitas lain yang lebih manfaat seperti melipat kertas, memainkan tali dan mainan lain yang akan menyibukkan dan melatih tangannya. Lakukan dengan lembut. Pada saat yang tepat, beri pengertian untuk untuk tidak banyak menyentuh alat kelaminnya kecuali ada keperluan seperti mau pipis, atau ada keluhan sakit.

Jika anak bertanya mengapa tidak boleh memainkannya? Saatnya anda memberi tahu tentang sopan santun, bagian tubuh yang wajar untuk dilihat dan dipegang. Beberapa perilaku seperti onani dan masturbasi dapat bermula pada masa kanak-kanak karena ketidaksengajaan. Saat mereka merasakan nyaman dan nikmat dengan memainkan alat kelaminnya, maka membuat ketagihan bahkan bisa berlanjut hingga saat dewasa.

Toilet training memasuki saat yang penting untuk tuntas pada masa ini, sehingga anak  belajar mengontrol kapan ia harus BAB dan BAK. Anak diajari untuk tahu dimana dan dengan siapa ia harus meminta tolong melakukan aktivitas tersebut. Beritahukan pada anak, siapa saja orang yang boleh menolongnya. Semua larangan yang berlaku pada masa bayi, terus berlaku pada masa ini, seperti menutup aurat orang tua dan anak.

Saya pernah mendengar orang tua yang mengajak anak mandi bersama. Jika sesekali melakukannya, usahakan lakukan dengan anak yang berjenis kelamin sama dan orang tua tetap memakai baju basahan/baju renang, tidak boleh membuka aurat di depan anak. Jangan memandikan beberapa anak secara bersama-sama dalam keadaan mereka telanjang bulat. Minimal pakaian celana dalam jika terpaksa anak mandi bersama. Misal diantara saudara kandung atau terjadi di PAUD atau tempat pendidikan prasekolah. Hal ini menghindarkan dari mereka saling melihat aurat.


c.       Usia 4-7 Tahun

Anak sudah sampai pada pemahaman bahwa dia hanya boleh dicebok dan dilihat auratnya oleh mahram atau pengasuh yang dipercaya (atau ibu guru di sekolah). Seiring proses, anak dilatih untuk melakukan proses istinjak sendiri secara benar. Inilah saat anak mengenal secara istilah dan praktek bahwa prosesi cebok, adalah bagian dari ibadah, yakni bersuci.

Pada saat usianya maksimal 7 tahun, anak semestinya telah pandai melakukannya dengan benar. Mengajari bersuci/istinjak juga bagian dari menjaga kebersihan dan kesehatan alat kelaminnya, selain bahwa itu adalah bagian dari ibadah.Ini juga fase tepat anak belajar untuk dipisahkan tidur dari kamar ortu.Tetap harus diingat bahwa sekalipun anak boleh tinggal/ tidur di kamar ortu, namun dalam proses hubungan suami istri, tetap tidak boleh ada anak di dalam kamar.

Selain itu, anak juga dikenalkan pada area tubuh yang tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain. Hal ini untuk mencegah anak menjadi korban pelecehan seksual. Sekali lagi bukan hanya tidak boleh disentuh, tapi juga tidak boleh dilihat. Yakni bagian antara pusar dan lutut bagi anak laki-laki dan ditambah bagian dada pada anak perempuan.Bukan hanya alasan tidak nyaman saat anak dilatih untuk menjaga bagian aurat tersebut, namun ini adalah perintah agama. Jika hanya berdasar perasaan tidak nyaman, bisa jadi ada anak-anak yang tetap saja merasa nyaman bahkan senang saat orang lain mengeksplorasi bagian tubuhnya, karena alasan permainan atau alasan bentuk kasih sayang.

Untuk keamanan si anak, ditambahkan area mulut sekalipun bukan bagian dari aurat. Misalnya, sampaikan pada anak: “Bagian ini yang boleh melihat dan memegang hanya ayah dan ibu karena membantumu mandi dan membersihkan diri atau dokter yang memeriksa kamu dengan didampingi ayah atau ibu...”, “Nak, tidak boleh ya orang lain memegang bagian tubuhmu selain tangan dan lutut ke bawah, anak yang sopan juga tidak boleh memegang pantat orang, atau perut, tanpa seijinnya...”

Anak tidak hanya belajar memproteksi diri, namun juga belajar tentang sopan santun pergaulan, dalam perkataan, perbuatan dan menjaga pandangan.Misal kita dalam perjalanan dan melihat ada orang yang pipis sembarangan, apakah orang dewasa atau anak. Ajak anak menjauh dan katakan bahwa yang demikian tak boleh dilihat, apalagi ditiru. Prosesi khitan atau sunat pada anak lelaki sebaiknya dilakukan pada tahap usia ini.

Proses identifikasi gender biasanya mulai usia ini. Ia bertanya dan mulai mengerti perbedaan laki-laki dan perempuan. Bagian dari pendidikan seksual adalah orang tua mengawal masa pembentukan identitas ini agar tidak terjadi penyimpangan. Saat anak melihat tontonan yang merancukan pemahaman gender, lelaki berpakaian dan bertingkah perempuan, atau sebaliknya, apa yang harus dilakukan orang tua? Berikan penjelasan untuk anak, bahwa manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, maka masing-masing harus menjalankan perannya dan tidak boleh bertukar karakter atau jenis kelamin. Ajarkan dan contohkan sikap dan pakaian yang sesuai. Eh.. dengan bahasa anak-anak tentunya. Usia 7 tahun adalah salah satu terminal penting. Target pencapaian :

1.      Anak sudah memahami batasan aurat.

2.      Anak memiliki konsep gender yang sesuai antara fisik dan mental psikis.

3.      Anak dapat melakukan proses bersuci/istinjak/cebok secara mandiri dan benar.

4.      Belajar untuk menutup aurat secara sempurna.

5.      Anak mengerti dan mempraktekkan adab pergaulan.

6.      Anak telah dipisahkan tidurnya dari orang tua.

7.      Anak belajar adab meminta ijin memasuki kamar orang tua.

Demikian bahasan kita kali ini, semoga bermanfaat. Yang akan datang akan saya
 sambung untuk tahapan usia 7-14  tahun.
Terimakasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Ini materi yg no.1 dl dah pernah d tulis b.ida, silahkan d simpan ya bu ibu, bgs materinya. Nunggu kelanjutannya 7-14 thn

0 komentar: